Lintas12.com – Kejagung: Gagah di Kasus Besar, Ciut di Hadapan Silfester? menjadi topik bahasan Lintas 12 Media kali ini.
Tindakan penegakan hukum idealnya berjalan konsisten, tanpa memandang status, kekuasaan, atau popularitas tersangka. Namun, realitanya seringkali berbeda. Kritik pedas yang dilayangkan oleh Islah Bahrawi, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) menyoroti sebuah paradoks yang menusuk nalar publik: bagaimana institusi yang gagah mengungkap korupsi triliunan rupiah dan menyentuh mantan menteri, terlihat “ciut” ketika berhadapan dengan seorang aktivis seperti Silfester Matutina.
Membaca Kritik Islah Bahrawi: Lebih dari Sekadar Sindiran
Komentar Islah Bahrawi di akun X-nya pada 11 Oktober 2025, bukanlah sekadar luapan emosi. Ia adalah sebuah pisau analisis yang membedah persoalan mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia: inkonsistensi dan persepsi keberpihakan.
Pernyataannya, “Percuma ngumumin pengungkapan korupsi miliaran sampe triliunan… sementara di hadapan Silfester saja bijinya ciut!” mengangkat setidaknya dua hal:
-
Kredibilitas yang Terkikis: Pencapaian Kejagung dalam menangani kasus-kasus besar berpotensi menjadi sia-sia jika di saat yang sama mereka dianggap tak berdaya atau enggan mengeksekusi putusan hukum yang telah berkekuatan tetap terhadap seorang Silfester. Publik akan membaca ini sebagai sebuah pertunjukan yang timpang.
-
Pesan Politik yang Kuat: Keengganan (atau kelambanan) menangkap Silfester bisa ditafsirkan sebagai bentuk kehati-hatian yang berlebihan karena kasusnya melibatkan figur nasional seperti Jusuf Kalla dan mengusung isu politik sensitif (Pilkada DKI 2017). Ini menimbulkan pertanyaan, apakah hukum “berhenti” ketika sudah menyentuh ranah politik tinggi?
Mengurai Benang Kusut Kasus Silfester Matutina
Untuk memahami kritik ini, kita perlu menelusuri kronologi kasus Silfester:
-
Akar Masalah: Pada 15 Mei 2017, Silfester, dalam orasinya, menyebut Jusuf Kalla sebagai “akar masalah bangsa” dan menuduhnya menggunakan isu rasis untuk kemenangan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI.
-
Proses Hukum: Ia dilaporkan dan dituntut dengan dakwaan pencemaran nama baik/pencemaran nama baik secara tertulis (pasal 310 dan 311 KUHP atau UU ITE). Proses hukum berjalan hingga ke tingkat kasasi.
-
Vonis Diperberat: Mahkamah Agung, melalui Putusan Nomor 287 K/Pid/2019, justru memperberat vonisnya menjadi 1,5 tahun penjara. Putusan ini telah inkracht (berkekuatan hukum tetap).
-
Jalan Terakhir Gagal: Silfester mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada Agustus 2025, namun permohonannya dinyatakan gugur oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dengan ditolaknya PK, secara hukum tidak ada lagi jalan bagi Silfester untuk menghentikan eksekusi. Ia seharusnya segera dieksekusi untuk menjalani hukuman 1,5 tahun penjara. Inilah yang tidak terjadi, dan menjadi dasar kritik “keciutan” Kejagung.
Analisis: Mengapa Kejagung Dianggap “Ciut”?
Beberapa hipotesis dapat diajukan untuk menganalisis kelambanan Kejagung:
-
Pertimbangan Politik dan Loyalitas: Bayangan Jokowi dan Dukungan Solmet
Ini adalah dimensi krusial yang memperumit situasi. Solidaritas Merah Putih (Solmet) bukan sekadar kelompok massa biasa; mereka adalah pendukung utama dan paling loyal dari mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selama masa pemerintahan Jokowi, kelompok seperti Solmet menjadi basis politik yang signifikan. Menangkap seorang tokoh sentral seperti Silfester, yang notabene adalah “anak emas” atau setidaknya sekutu politik dari kekuatan politik yang masih sangat berpengaruh, bukanlah keputusan hukum yang sederhana. Kejagung, yang pimpinannya ditunjuk oleh Jokowi, bisa saja dianggap memiliki “hutang budi” politik atau setidaknya enggan membuat gerakan yang akan dilihat sebagai tindakan memukul pendukung setia mantan presiden tersebut. Ketakutan untuk mengganggu keseimbangan politik dan menarik dendam dari kekuatan politik lama Jokowi menjadi pertimbangan yang sangat realistik, meski tidak bisa dibenarkan secara hukum. -
Kompleksitas Sosio-Politik Kasus: Kasus ini bukan lagi sekadar kasus pidana biasa, tetapi telah menjadi simbol perdebatan kebebasan berpendapat vs ujaran kebencian, serta menyentuh figur-figur politik yang masih sangat berpengaruh (JK vs. kubu pendukung Jokowi). Kejagung mungkin terjebak dalam kerumitan politik ini.
-
Inkompetensi Birokrasi? Kemungkinan paling sederhana adalah adanya kemacetan birokrasi internal Kejagung dalam memproses surat perintah eksekusi dan pelaksanaannya. Namun, alasan ini justru akan semakin mempermalukan karena menunjukkan ketidakefisienan institusi.
Konsekuensi bagi Kredibilitas Kejagung
Jika dibiarkan berlarut, fenomena ini akan membawa dampak serius:
-
Erosi Kepercayaan Publik: Masyarakat akan melihat hukum seperti pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, atau dalam hal ini, tajam pada koruptor dan “musuh politik” tertentu, tetapi tumpul pada pihak yang dianggap dekat dengan kekuasaan atau memiliki massa yang berisiko.
-
Dilematis Pemberantasan Korupsi: Upaya Kejagung membangun citra sebagai lembaga pemberantas korupsi yang garang akan terus diwarnai tanda tanya. Setiap pengungkapan kasus besar akan diiringi cibiran, “Lha, wong Silfester saja tidak berani tangkap.”
-
Preseden Buruk: Ini bisa menjadi preseden bahwa putusan pengadilan yang telah tetap pun bisa “ditawar” atau ditunda eksekusinya dengan pertimbangan-pertimbangan non-hukum, seperti kekuatan politik atau tekanan massa.
Kesimpulan
Kritik Islah Bahrawi terhadap Kejagung adalah sebuah cermin yang dihadapkan pada wajah penegakan hukum Indonesia. Kasus Silfester Matutina telah menjadi litmus test (uji lakmus) sederhana namun powerful bagi konsistensi dan nyali Kejagung.
Kasus ini mengungkap sebuah kebenaran pahit: bahwa penegakan hukum kita masih sangat rentan terhadap kepentingan dan bayang-bayang politik praktis. Ketidakmampuan Kejagung bertindak terhadap seorang pendukung setia mantan presiden justru mengukuhkan narasi bahwa hukum Indonesia masih menjadi sandera politik dan transaksional. Di satu sisi, Kejagung berhadapan dengan putusan hukum yang telah tetap, di sisi lain, mereka terjepit oleh logika politik yang menyatakan bahwa “kawan politik tidak boleh ditinggalkan.”
Tidak dibutuhkan kasus korupsi triliunan untuk mengukur integritas sebuah institusi penegak hukum. Terkadang, cukup dengan melihat keberaniannya mengeksekusi satu putusan hukum yang telah berkekuatan tetap—meskipun terhadap seorang aktivis yang punya “backing” politik kuat—untuk mengetahui sejauh mana prinsip equality before the law benar-benar ditegakkan.
Kejagung berada di persimpangan. Membiarkan Silfester tidak dieksekusi sama saja dengan mengukuhkan anggapan bahwa hukum di Indonesia masih takluk pada tekanan politik dan massa. Sebaliknya, menangkap dan mengeksekusinya justru akan menjadi pesan kuat bahwa hukum ditegakkan secara tegas, adil, dan tanpa pandang bulu. Pada pilihan itulah kredibilitas Kejagung sebenarnya dipertaruhkan.
Demikian artikel seputar Kejagung: Gagah di Kasus Besar, Ciut di Hadapan Silfester? oleh Lintas 12 News.
Tonton videonya di: Youtube.






